Arwah Kartini Facepalm Tiap Tanggal 21 April

Kartini Facepalm

Tak dipungkiri, Kartini adalah salah satu tokoh lokal panutan para feminis. Namun perayaannya, layaknya Hari Perempuan yang direduksi menjadi Hari Ibu oleh rezim Orde Baru, selalu direduksi menjadi perayaan yang bukannya memerdekakan perempuan malah makin menancapkan kuku hegemoni lebih dalam dengan lomba kebaya, lomba masak, dan lomba kebersihan. Kasur-sumur-dapur, familiar bukan?

Baca juga:
Alasanku Membenci Hari Kartini, oleh Arzia Wargadiredja

Puncak kemuakanku atas ini terjadi saat aku kelas 8 SMP. Sekolahku memutuskan untuk mengadakan lomba kebersihan kelas di hari Kartini. Saat itu aku menjabat menjadi Seksi Kebersihan di kelasku dan muak karena tidak ada laki-laki di kelasku yang ikut bekerja kecuali mengisi air di ember dan menyodorkannya padaku. Aku protes ke Ketua Kelas dan memintanya untuk menyuruh anak laki-laki untuk setidaknya mengepel lantai. Namun jawabannya membuat hatiku sangat panas: "kamu kan seksi kebersihan, itu tanggung jawab kamu. lagian itu kan emang kerjaan cewek".

Aku mengamuk, kursi yang sudah aku taruh di atas meja ku banting karena kesal. "Kerjaan ya kerjaan, ga ada kerjaan cewek atau cowok!" "Isi air ke ember trus angkut ke kelas sih gue juga bisa, anjing!" adalah beberapa kalimat umpatan yang ku keluarkan sebelum seorang guru perempuan turun tangan dan dengan bodohnya bilang "ga usah ngeributin hal sepele, bersih-bersih kan emang kerjaan perempuan". Aku, saat itu juga, melepas jabatanku sebagai Seksi Kebersihan dan jabatan itu tetap kosong sampai aku pindah sekolah.

Sejak itu, aku krisis identitas, tidak ingin menjadi perempuan namun membenci laki-laki. Pada akhirnya, aku belajar untuk memahami bahwa persoalan gender ini ada dalam sistem, ada dalam masyarakat, ada dalam pendidikan, dan bukan bawaan lahiriyah tiap gender (meski orang-orang masih percaya demikian). Namun satu yang aku yakini: Arwah Kartini pasti facepalm tiap tanggal 21 April.

Komentar