Naratologi vs Ludologi, Pertarungan Diskursus Abadi Dalam Game

Diskursus Game

Di sebuah mata kuliah adaptasi, seorang dosen menerangkan game sebagai sebuah wadah untuk berinteraksi dengan cerita layaknya novel, animasi, dan film. Game tidak lebih dari pencerita, dan saya tidak menyukai ide tersebut. Bagi saya, game tidak melulu urusan narasi, karena awal mula game tidak berasal dari cerita yang dijadikan interaktif, tapi berasal dari permainan yang terdiri dari peraturan, batasan, dan mekanik. Game adalah soal kesenangan.

Oleh karenanya dalam mata kuliah tersebut, saya menyeleweng dengan mengadaptasi cerita dari sebuah komik bukan menjadi cerita namun menjadi gameplay dari game baru. Keengganan sang tokoh utama untuk membunuh diterjemahkan dengan peraturan tidak boleh membunuh musuh dan health bar 2 lapis, pingsan baru mati.

Saya baru tahu konflik paham naratologi vs. ludologi dalam diskursus game, di awal saya menyusun Tugas Akhir. Isi konfliknya kurang lebih sama dengan yang di atas, naratologi menganggap game sebagai cyberdrama sedangkan ludologi menganggap game sebagai... tentu saja permainan! Dalam Tugas Akhir ini, saya akan merancang gameplay dengan mengadaptasi game gijinka populer macam Kantai Collection dan Touken Ranbu untuk game baru bermuatan lokal. Awalnya saya pikir konflik naratologi vs. ludologi tidak akan menyentuh Tugas Akhir saya—biarlah paham ludologi ini saya simpan dalam hati—, sampai saya sadari seluruh teori adaptasi yang saya punya, yang tadinya akan saya pakai sepenuhnya dalam analisis, ternyata berpaham naratologi!

Sebagai cabang ilmu yang telah berumur panjang, naratologi memiliki pegangan teori yang lebih mapan, termasuk teori adaptasinya. Sebenarnya saya pikir jika saya tidak terlalu eksplisit mengambil teori tersebut, saya masih bisa menerapkannya dalam analisis, meski tidak menutup kemungkinan saya akan dicap orang galau karena melakukan perancangan gameplay yang notabene salah satu perhatian ludologi dengan menggunakan teori adaptasi berpaham naratologi. Tentu saja saya masih mencari teori adaptasi yang lebih sesuai dengan paham saya, namun apalah yang saya harapkan dari paham kekinian nan canggih ini? Kata kunci "adaptasi" malah mengantar saya pada ludic interface dan adaptive gaming. Sepertinya keteguhan hati saya dalam paham ludologi tidak sejalan dengan paham naratologi yang tanpa sadar telah tertanam dalam diri saya melalui praktik akademi.

Catatan:
Saya akhirnya menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan membuang teori adaptasi Hutcheon dan memakai kombinasi teori gameplay oleh Oxland sebagai pisau analisis dan teori desain game yang playcentric oleh Fullerton sebagai kerangka mencipta. Saya berharap tidak ada yang membuang satu semester untuk menemukan ini, selain saya.

Komentar