Autopilot dan Ingat

Autopilot

Sejak dini, kita diperintahkan untuk selalu ingat Tuhan. Dalam tataran praktis, hal ini diwujudkan dengan nyebut, sedikit-sedikit sebut nama Tuhan, biar terbiasa ingat Tuhan katanya. Tapi kebiasaan hanya akan jadi kebiasaan, layaknya urutan ritual mandi atau perilaku autopilot saat pulang pergi ke kantor. Sering menyebut nama Tuhan tidak membuat saya selalu ingat Tuhan. Hei, jujur saja, ibadah pun sering kita jalani dengan autopilot saking biasanya.

Pendek kata, seumur hidup saya tidak puas dengan solusi yang ditawarkan dalam rangka mengingat Tuhan.

***

Konon di Amerika Serikat, terjadi 15-25 kasus orang tua yang tidak sengaja meninggalkan bayinya di mobil hingga tewas, tiap tahunnya, selama satu dekade terakhir. "HAH! Orang tua mana yang bisa lupa dengan bayinya? Pasti orang tua yang tidak sayang anaknya!" Mungkin itu yang terlintas di benak semua orang. Tapi fenomena ini tidak sedangkal kelihatannya. Orang tua yang mengalami ini datang dari berbagai ras, etnis, agama, tingkat sosial, gender, kepribadian, dan profesi. Iya, bahkan perawat, guru, dan tentara pun mengalaminya, dan semua mengakui sangat menyayangi anaknya.

Seorang kolumnis Amerika mencoba menelusurinya dan ditemukanlah benang merah: saya kira saya telah menaruh anak saya di daycare, saya kira saya telah membawanya ke babysitter, saya kira istri saya yang bawa. Intinya ada autopilot yang teralihkan, membuat anak yang masuk dalam rutinitas jadi terhapus dalam pikiran. Memang bisa? Seorang profesor psikologi molekular yang diwawancara mengatakan bahwa ini sangat bisa terjadi kepada siapa saja. Dalam otak manusia terdapat struktur. Di atasnya ada prefrontal cortex untuk berpikir dan menganalisis dan hippocampus yang mengingat memori, sedangkan di bawahnya terdapat basal ganglia—yang dikatakan identik dengan otak hewan—yang menangani segala hal yang menjadi rutinitas dan kebiasaan kita sehari-hari. Ketika otak berpikir sedang kurang tanggap dan otak hewan melakukan rutinitas, sedikit gangguan kecil seperti telepon dari seseorang di perjalanan bisa mengganggu otak memori yang memang rentan dan membuat otak hewan kita merasa kita telah melakukan hal rutin seperti biasa padahal ada yang terlupa.

Kalau bahasa ilmiah agak membingungkan, saya punya pengalaman yang bisa menjelaskannya. Saat magang, saya pulang pergi ke kantor dengan sepeda dan saya rutin menaruh ponsel saya di tas sebelum keluar kantor agar aman, autopilot. Suatu hari ada buka bersama dengan karyawan kantor, pulangnya saya diantar oleh salah satu karyawan dengan motor. Ponsel saya taruh di saku, kemudian saya dibonceng ke kantor karena sepeda saya masih di sana. Sampai di halaman kantor saya langsung memacu sepeda, autopilot, lupa kalau ponsel masih ada di saku karena biasanya ketika saya sampai di halaman kantor, ponsel sudah ada di tas. Iya, ponsel itu jatuh entah dimana dan saya baru menyadarinya setelah sampai dan saya tidak menemukan ponsel saya di tas.

Ini berbeda dengan lupa dimana kita benar-benar tidak ingat. Ini lebih seperti kita yakin semua baik-baik saja seperti biasa sampai kita menyadarinya.

***

Tuhan, anak, ponsel, tentu kita tidak lupa kecuali memang hilang ingatan. Tapi menjadikannya sebagai kebiasaan tidak membuat kita lebih mengingatnya. Setelah membaca artikel dari jurnalis tersebut, saya mempertanyakan apa hakikatnya kita diperintahkan untuk mengingat Tuhan, berdasarkan pada pendapat bahwa manusia zaman dahulu juga berpikir dan menganalisa sama seperti kita namun keterbatasan membuat kesimpulan mereka lebih ke arah mistis dan spiritual. Bagi saya Tuhan terlalu kuasa untuk sekedar terganggu dengan salah satu ciptaannya yang tidak mengingat. Bisa jadi, mengingat Tuhan membuat otak berpikir tetap fokus dan tidak lengah, sehingga terhindar dari kesalahan menyedihkan di atas.

Namun seperti yang saya singgung sebelumnya, perintah ini pada akhirnya hanya menjadi sekedar praktik nyebut tanpa menyentuh hakikat. Dan sebagai manusia zaman sekarang, saya pun membuat kesimpulan baru: Ingat.

Komentar