Saya Pergi Ke Komunitas Hong Karena Dua Hal

Congklak

Komunitas Hong adalah rumah bagi permainan tradisional yang mulai tidak mendapat rumah di hati anak-anak masa kini. Klaim "berhasil mendokumentasikan nyaris ribuan permainan tradisional Indonesia, dengan lebih dari 250 berasal dari Jawa Barat" membuat saya terpikat dan bergegas ke tempat yang berada di Pekarangan Ulin Dago Pakar, Jalan Bukit Pakar Nomor 35, dengan tiga kali naik angkot dan sekali naik ojek yang cukup pelit untuk ditawar.

Saya pergi ke Komunitas Hong karena dua hal. Pertama, saya bermaksud untuk mewawancarai Kang Zaini, pencetus Komunitas Hong, demi tugas penelitian saya tentang adaptasi congklak pada game mobile.

Saya sampai, nyaris tidak ada orang di sana. Setelah menyusuri setapak, saya disambut oleh seorang Kang Cecep, satu-satunya manusia yang saya temui dari awal hingga akhir saya di sini. Nyatanya, Kang Zaini sedang sibuk dengan disertasinya hingga tidak datang hari ini, bahkan kabarnya mahasiswa Kang Zaini pun sulit menemuinya. Sementara absennya anak-anak di komunitas yang notabene untuk anak-anak ini dikarenakan mereka sedang menghadiri ‘pengajian’ di sudut lain desa.

Karena sudah membayar bea masuk Rp 35.000,- (22 Maret 2015), saya pun memutuskan untuk banyak bertanya kepada Kang Cecep. Sebagai bagian lapangan Komunitas Hong, nyatanya ia tidak hanya mampu menjelaskan bahwa permainan tradisional itu pada dasarnya terbagi menjadi permainan (game) dan mainan (toys), dan bahwa congklak di Jawa bisa disebut Dakon dan di luar negeri disebut Mancala, tapi juga bahwa filosofi congklak adalah menabung untuk kehidupan, bahwa tiap satu biji yang ditaruh ke dalam tujuh lubang adalah rejeki untuk satu hari dalam seminggu yang jangan sekaligus dihabiskan, kemudian satu lubang besar untuk tabungan kita, dan satu biji untuk tiap lubang lawan adalah apa yang kita sebut sebagai ‘berbagi dengan sesama’. Adapun ketika terjadi ‘nembak’, dimana ketika biji terakhir mengisi lubang kosong milik kita dan kemudian biji di lubang milik lawan di seberang masuk ke lubang besar, itu adalah rejeki dari usaha kita.

Saya pergi ke Komunitas Hong karena dua hal. Pertama, saya bermaksud untuk mewawancarai Kang Zaini, pencetus Komunitas Hong, demi tugas penelitian.

Kedua, saya ingin bermain bersama, atau setidaknya melihat anak-anak bermain bersama.

Entah mengapa saya membayangkan saya adalah seorang anak kecil yang datang dan... kecewa. Padahal saya bukan anak kecil, saya datang untuk penelitian, dan meski Kang Cecep sudah tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaaan macam "apakah tujuh dalam jumlah biji dan jumlah lubang memiliki filosofi tersendiri dalam budaya nusantara?" dan malah menawarkan nomor telepon manajemen untuk mengatur pertemuan dengan Kang Zaini, saya tidak akan pulang tanpa data. Akhirnya, saya mengobati rasa kecewa saya dengan memainkan permainan yang ada dipandu Kang Cecep. Saya bermain gasing, meski malah membuat jari saya berdarah karena... da emang belegug abi mah. Kemudian bermain ... (banyak yang saya lupa namanya) dengan tidak becus pula, hingga satu-satunya mainan yang bisa saya mainkan dengan baik adalah bedil karet.

Saya pergi ke Komunitas Hong karena dua hal. Pertama, saya bermaksud untuk mewawancarai Kang Zaini, pencetus Komunitas Hong, demi tugas penelitian. Kedua, saya ingin bermain bersama atau setidaknya melihat anak-anak bermain bersama. Memang pada akhirnya tidak ada yang kesampaian. Tapi saya tahu saya tidak pulang dengan tangan hampa.

Komentar