Perlukah Mengangkat Budaya Lokal Menjadi Budaya Populer?

Budaya Lokal

Di era industri kreatif ini, kreatifitas tentu menjadi nilai utama dalam menghadapi persaingan pasar. Indonesia yang memiliki warisan budaya lokal melimpah pun mulai ingin menjadi layaknya Jepang yang mampu menyisipkan kebudayaan mereka dalam setiap produk kreatifnya hingga dicintai segenap penduduk dunia. Dan sebagai mahasiswa fakultas industri kreatif jurusan desain komunikasi visual, saya bisa merasakan atmosfir ini sejak disisipkannya kata “budaya” dalam visi misi fakultas.

Desain komunikasi visual banyak berurusan dengan media populer, mulai dari poster hingga game. Sehingga ketika saya mengerjakan tugas kuliah, tidak ada keraguan bagi saya untuk mengangkat warisan budaya ke dalam karya yang sifatnya populer karena saya yakin saya sedang mengemban misi suci untuk membuat Indonesia dicintai segenap penduduk dunia. Itu sebelum saya diperkenalkan dengan mata kuliah Budaya Populer yang menampar saya keras-keras hingga depresi berkepanjangan.

Budaya populer adalah budaya yang disukai masyarakat hingga menjadi populer, tapi popularitas seringkali digapai dengan manipulasi media demi keuntungan segelintir pihak. Saya tahu tidak ada yang benar-benar suci dalam industri ini, tapi saat dosa menjadi teori yang harus saya pelajari, batin saya terluka. Terlebih saat mazhab Frankfurt mengatakan bahwa industri budaya menciptakan kebutuhan semu untuk menawarkan solusi yang semu pula. Bukankah seringkali budaya lokal diangkat hanya untuk menjadi pembeda padahal kita sejujurnya tahu bahwa orang lain tidak benar-benar memerlukannya? Bukankah semua yang saya lakukan selama ini memang berorientasi pada keuntungan?

Saya tidak pernah berpikir bahwa karya saya berpotensi membuat budaya lokal masuk ke dalam tatanan budaya populer beserta dosa-dosanya.

Dua minggu ini saya berada dalam fase kebingungan. Dan bahkan jika bingung itu bagus, bingung bukanlah sebuah sikap akhir. Terlebih saya tidak bisa memutuskan apapun saat saya bingung. Saya pun mulai mempertanyakan kembali apa yang membuat saya dulunya yakin dengan apa yang saya lakukan. Saya dulu yakin budaya lokal harus dipopulerkan agar dicintai. Tapi kemudian saya menyadari bahwa bukankah bertahannya budaya lokal selama ini adalah karena dicintai dan dianggap berharga? Lalu kenapa saya seakan harus memperkenalkan kembali budaya-budaya lokal ini dalam bentuk yang lebih populer? Bukankah itu artinya saya sedang “menjebak” budaya lokal untuk manut pada kejamnya industri budaya?

Saya menjadi tidak kokoh, insecure. Tiga hari saya lewati hanya dengan menghindar dari kesadaran dengan tidur, dimana di mimpi pun saya masih ditanya-tanyai tentang keyakinan saya pada semua ini. Saya tidak tahu harus bicara pada siapa, karena gejala yang saya alami lebih seperti orang galau akibat cinta. Ya, saya galau karena sepertinya ekspresi cinta saya terhadap ragam budaya Indonesia salah bentuknya. Tapi jika memang salah, seharusnya saya jadi tahu mana yang benar.

Nyatanya, saya masih bingung.

Komentar