"Pas itu ada tugas ilustrasi. Ada anak ngumpulin gambar bagus banget. Tapi ternyata dosennya kenal sama gambar itu, soalnya itu tugas senior yang dulu di-acc sama dia. Pas didesak, anak itu baru ngaku kalau dia ngambil dari internet. Langsung lah dia dikasih E."
Pencurian karya bukanlah hal yang sepele. Dosen saya selalu mewanti-wanti mahasiswanya agar tidak mencatut gambar di internet sembarangan. Cerita di atas pun menjadi semacam urban legend di kampus meski saya agak sangsi karena "kok bisa kebetulan banget, serasa dunia seluas daun kelor".
Dan di pagi yang cerah dan penuh nuansa kemerdekaan ini, saya dikejutkan oleh laporan pacar saya yang melihat sebuah grup facebook berjudul "... DKV" yang gambar sampulnya menggunakan gambar saya tanpa izin. Setelah saya selidiki, ternyata admin grup ini adalah junior satu kampus satu fakultas satu jurusan. "Ternyata dunia memang seluas daun kelor!", gumamku.
Mungkin junior saya ini merasa masalah telah selesai dengan cara menghapus gambar sampul yang dipermasalahkan itu. Tapi bagi saya, perilaku "mengaku DKV tapi mencatut gambar sembarangan" adalah sebuah ironi yang tak bisa dianggap angin lalu.
Kemerdekaan adalah kebebasan, tapi bukan berarti bebas mencatut gambar sembarangan. Komikus favorit saya, Sweta Kartika, memang pernah mengatakan bahwa ketika sebuah gambar berada di dunia maya, maka itu sudah seperti milik semua orang. Tapi tentu ada perbedaan antara "tikus mencuri hasil panen Pak Tani" dengan "sesama petani mencuri hasil panen Pak Tani", bukan?
Pendidikan kekayaan intelektual sudah selayaknya diajarkan sejak dini. Itulah kemerdekaan untuk orang-orang yang hidup dari kekayaan intelektual.
Dirgahayu Republik Indonesia tercinta!
Komentar