Saat kami sepakat untuk mengangkat “komik Indonesia” sebagai bahasan dokumenter kami, pengetahuan saya tentang komik adalah nol besar. Tidak ada korelasi antara aktifnya saya sebagai salah satu anggota komunitas komik dengan pengetahuan saya tentang komik karena saya “melakukan” bukan “mempelajari”. Saya setara dengan yang kalian bilang sebagai awam. Dan saat itu saya dituntut untuk membuat batasan untuk topik yang definisinya saja masih harus saya cek lewat Wikipedia.
Saya pun mulai mencari. Saya mulai menutrisi otak saya dengan semua hal yang berhubungan dengan komik Indonesia. Saya babat koleksi komik Indonesia sang informan, saya berbincang dengan Bapak Ranger, dosen kampus kami yang juga aktif sebagai aktivis komik di luar sana, saya baca artikel-artikel di dunia maya, saya mulai membuka koneksi dengan komik dan komikusnya di jejaring sosial, saya obrak-abrik perpustakaan kampus untuk menemukan apapun yang bisa menjadi pencerah dan hanya menemukan buku Histeria Komikita dari trio dosen ITB, saya berbincang dan bertukar pikiran dengan banyak orang mulai dari pembeli komik beneran hingga orang asing di angkot yang katanya hobi ke toko buku tapi tidak pernah melihat komik Indonesia, saya lempar kru dan informan saya untuk mengunjungi Bang Okky dan komunitas Komikara-nya, saya susun citra komik Indonesia dalam benak saya, saya berpindah-pindah gagasan mulai dari mereportase sebuah pasar komik, meng-esai-kan komik, mempropagandakan si impor, menelusuri penggayaan lokal, hingga akhirnya kami memutuskan untuk membawa dokumenter kami sebagai pengabar aktual kepada masyarakat.
Komik adalah media, dan dokumenter adalah media kami untuk mengabarkan bahwa “media” ini masih ada.
Ini berangkat dari analisis masalah dalam industri komik Indonesia yang semakin hari semakin saya maknai. Kami menemukan bahwa industri komik Indonesia yang ada saat ini bukanlah lanjutan dari industri komik Indonesia yang ada puluhan tahun sebelumnya. Mereka lebih seperti Ayah dan anak bernama sama. Nama boleh sama, tapi tetap saja sang anak bukanlah penerus kehidupan sang Ayah karena sang anak punya kehidupannya sendiri. Jika dulu sang Ayah bercermin pada komik-komik Amerika, mungkin saat ini sang anak sedang selfie pada manga-manga Jepang. Sayangnya, sang Ayah yang terkenal itu keburu wafat sebelum sang anak lahir, sehingga sang anak pun lahir tak dikenal karena namanya telah terkubur bersama jasad sang Ayah.
Saya bernafsu sekali untuk mengabarkan sang anak dalam nama lengkapnya—komik Indonesia—karena jujur saja, saya jatuh cinta pada media visual bersekuens ini saat membaca komik Indonesia masa kini sama seperti saya jatuh cinta pada negeri ini: tanpa syarat. Tapi layaknya cinta pada umumnya, pikiran saya menjadi agak terbutakan. Saat kami mempresentasikan konsep dan data dokumenter kami di depan kelas, teman kami bertanya tentang bagaimana komik Indonesia dari segi gaya gambar dengan mengacu pada komik petruk dan komik siksa kubur.
Tentu kami agak berang karena sebelumnya kami sudah berkali-kali menjelaskan bahwa selama komik itu dibuat oleh orang Indonesia dan atau dibuat untuk pasar Indonesia maka itulah komik Indonesia, tanpa harus meributkan gaya gambar. Kami terus bantah argumen teman-teman kami dan pertahankan argumen kami tanpa tendeng aling, sampai dosen kami, Pak Jerry, harus menyuruh kami untuk buka baju dan keluar rumah agar kami sadar bahwa yang akan kami kabari adalah masyarakat yang lapisannya sebanyak lapisan wafer tango, dari yang mungkin pernah membaca “Put On” hingga yang baru mulai membaca “Attack on Titan”. Masyarakat awam Indonesia seperti teman-teman kami biasanya hanya menilai komik dari visual tersurat dan gaya gambar adalah yang paling kentara, itu sebabnya mau tidak mau gaya gambar akan selalu muncul dalam setiap pembahasan identitas komik Indonesia.
Pepatah “tak kenal maka tak sayang” kini terdengar berat bagi kami, karena sebelum mengabarkan perihal komik Indonesia, kami harus memastikan bahwa masyarakat setidaknya tertarik dengan apa yang akan kami kabarkan. Misi mengabarkan komik Indonesia pun mengular menjadi misi cuci otak karena kami hanya punya dua pilihan: menentukan gaya gambar komik Indonesia atau mendidik masyarakat bahwa identitas komik Indonesia bukan terletak pada gaya gambarnya. Pilihan pertama tentu tidak bisa kami lakukan apalagi hanya dalam waktu beberapa bulan karena konon perdebatan tentang gaya gambar komik Indonesia yang dimulai dari awal abad 21 itu pun sampai sekarang belum ada solusinya. Tapi pilihan kedua juga bukan perkara mudah karena di tengah beragamnya bentuk dan genre komik Indonesia saat ini, dokumenter kami juga harus mengenyahkan citra komik sebagai bacaan anak-anak tak mendidik berbentuk buku cetak segi empat yang tercipta dalam benak masyarakat awam sebagai akibat kekacauan akhir masa sang Ayah. Tidak heran jika dosen kami secara gamblang menyatakan bahwa tugas dokumenter kami sangat berat.
Meski begitu, kami tetap ingin mengemas dokumenter ini dengan muatan positif. Tidak ada yang bersalah, tidak ada dominasi sang Ayah, tidak ada customer lebih milih Jepang. Kami ingin masyarakat awam menganggap masalah yang dihadapi industri komik Indonesia adalah tantangan bagi segenap bangsa, bukan halangan bagi penggiat komik semata. Saya pribadi malah ingin masyarakat menaruh perhatian pada komik Indonesia agar media massa yang kini kebanyakan berwarta berdasarkan animo masyarakat mulai menyebut sang anak dengan namanya—komik Indonesia. Tidak mudah memang, saya bahkan tidak yakin apakah nantinya kami bisa mengomunikasikan apa yang saya tulis di sini seutuhnya dalam visual yang baik dan benar, karena pengalaman produksi film kami yang sangat minim. Tapi itulah fungsi lain dari tulisan ini. Saya membuka pintu lebar-lebar untuk siapapun yang ingin berkontribusi dalam dokumenter ini karena meskipun sebutannya tugas kuliah, saya mengerjakannya demi cinta untuk komik Indonesia.
Jadi, apa kabar komik Indonesia?
Komentar